Tahun 1940-an, sekitar 400 kepala keluarga di Dukuh Gumantar, Desa Tanjung, Kecamatan Juwiring, Klaten, Jawa Tengah, menggantungkan hidupnya pada kerajinan payung –yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Payung Juwiring.
Lewat koperasi Pinda Aneka, warga menjual payung-payungnya untuk kemudian Pinda Aneka memasarkan ke berbagai kota. Selama lebih dari 30 tahun pada periode tahun 1940-1970, kerajinan payung Juwiring mengalami masa keemasan. Saat itu, Pinda Aneka mampu mengumpulkan rata-rata 40 ribu payung per bulan.
Namun, pada awal 1970-an Pinda Aneka bangkrut karena tak mampu mengimbangi serbuan ‘payung kalong’, sebutan untuk payung impor berbahan kain hitam dan berkerangka besi dari China.
Pinda Aneka tutup tahun 1974. Warga pun pindah profesi. Ada yang kembali menjadi buruh tani, berdagang di pasar, atau membuat sangkar burung. Hanya sedikit yang bertahan membuat kerajinan payung.
Kini, dengan penduduk sekitar 1.500 kepala keluarga atau sekitar 6.000 jiwa, di Desa Tanjung, hanya tersisa tiga rumah industri payung yang bertahan di Dukuh Gumantar, yaitu Ngadino (47), Wigid (50), dan Wisnu (47).
Setelah 15 tahun terseok-seok menekuni usaha payung, mereka mulai memetik hasil. Setidaknya, saat ini mereka mampu mempekerjakan sekitar 25 warga dalam industri payung rumahan miliknya. Sebelumnya, mereka mengerjakan sendiri pembuatan payung karena tidak mampu memberi upah pekerja.***